03 September 2009

S E M B U R A T

Oleh : Deri Anggraini


Entah berapa lama aku duduk di sini. Aku telah menulis banyak tentang ibu malam ini. Aku mencoba membenahi kaki supaya dapat duduk dengan lebih nikmat di kursi tua ini, tapi entah kenapa aku tidak dapat menemukan posisi yang tepat. Aku mulai menguap dan sekali ini terasa begitu lebar hingga aku berusaha menutupnya dengan sebelah tanganku. Aku baru sadar kalau aku sudah mulai mengantuk. Aku mencoba mengulur badan berharap mendapatkan sedikit kesegaran walaupun itu sia-sia. Ketika menatap ke atas aku baru sadar kalau ternyata lampu minyak yang tergantung pada dinding bilik pun sudah hampir padam. Itu pertanda tidak lama lagi pagi akan segera datang. Aku merasa lelah, dan belum pernah merasa selelah ini sebelumnya. Mungkin aku terlalu memaksakan diri untuk menulis malam ini atau barangkali aku lelah karena beban yang aku bawa. Ah entahlah , aku tidak tahu. Malam telah larut sebentar lagi pagi akan datang, aku beranjak dari kursi tua itu dan pergi ke atas dipanku. Aku mencoba melepaskan semua pikiranku tapi tidak bisa juga, mungkin aku terlalu lama terjaga sehingga mataku sulit untuk terpejam atau mungkin karena dipan ini sudah terlalu reot sehingga tidak mampu membantuku melepas lelah. Atau barangkali….
Pikiranku buyar ketika aku mendengar bapak batuk dari ruang tamu . Ada perasaan sakit yang diam-diam merayap setiap kali mendengar batuk tuanya itu. Kasihan bapak, Beliau sudah terlalu tua untuk terus menghidupiku. Mungkin dia kelelahan bekerja seharian tadi. Seingatku bapak memang selalu tidur di kursi tua itu. Pernah suatu hari aku menanyakan kenapa beliau tidur di sana, tetapi bapak tidak pernah menjawabnya. Hanya terdiam. Kemudian aku mengira, mungkin bapak bermaksud menunggu ibu pulang atau hanya berusaha melindungiku atau barangkali….
Pikiranku selalu terhenti hanya sampai itu, untuk selanjutnya aku tidak pernah tahu. Angin malam masuk melalui lubang bilik kamarku sehingga aku mulai merasakan dingin. Aku menarik jarik tua berharap mendapatkan kehangatan darinya, tetapi betapa bodohnya aku bukankah itu hanya akan membuat semakin dingin. Hujan pun turun dengan malu-malu, satu-satu untuk kemudian tercurah tanpa malu lagi. Kehadirannya menambah kedinginan yang kurasakan. Sesekali ada tetesan airnya yang masuk melalui sela-sela genting rumah yang bergeser tapi untunglah aku masih bisa terbaring di dipanku.
Sesekali aku teringat bapak dan bermaksud melihatnya tapi aku tidak mau bapak terbangun karena mendengar langkah kakiku. Aku selalu mengurungkan niat, aku tidak habis pikir kenapa nafasku selalu sesak ketika ingat bapak. Selama ini aku hanya mengenal bapak lewat cerita orang. Katanya dulu bapakku adalah seorang yang kaya lalu jatuh miskin sehingga ibuku pergi sewaktu aku masih kecil. Ada pula yang bilang kalau aku ini anak haram dari hubungan gelap ayahku dengan seorang wanita sewaktu bapak bekerja di Bandung. Ada yang bilang ibuku telah meninggal saat melahirkan aku. Oh… mulut orang memang pandai mengarang cerita, aku tidak pernah tahu mana yang benar dan telingaku sudah terlalu bebal karenanya. Setiap kali aku menanyakan hal ini pada bapak, beliau hanya diam dan menatapku dengan tatapan kosong sebelum akhirnya memelukku.
Bapakku terlalu tua untuk menyimpan rahasia itu, tapi entah kenapa beliau tetap bersikukuh untuk tidak menceritakannya kepada orang lain juga kepadaku, putrinya. Mungkin masalalunya terlalu hitam untuk dikenang, atau mungkin terlalu penuh dengan kebahagiaan sehingga beliau tidak ingin menyalahkan siapapun atas keadaan kami sekarang ini. Pernah pula aku marah dan membenci bapakku. Aku pikir bapak egois karena tidak mau membagikan masalalunya denganku. Aku pergi mencari ibuku dan meninggalkan bapak sendirian. Tapi entah apa yang telah membimbingku kembali pada bapak, aku tidak tahu pasti. Yang kutahu, semenjak itu aku tidak pernah lagi bertengkar dengan bapak. Apalagi menjelang usianya yang setengah abad, bapak mulai sakit-sakitan. Aku tidak sampai hati untuk bertanya lagi pada bapak. Aku hanya menunggu dan menunggu berharap suatu hari bapak akan bercerita padaku atas kemauannya sendiri. Hampir 20 tahun aku hidup tanpa kehadiran seorang ibu. Aku hanya mengenal bapak dan tak pernah tahu dimana ibuku berada. Bahkan tak pernah tahu siapa ibuku.
Aku merasa ini tidak adil untukku. Selama setahun, dua tahun bahkan belasan tahun aku harus menanggung rindu. Aku tidak tahu ibuku masih hidup ataukah sudah mati. Pernah pula aku menyebut diriku sebagai perempuan yang malang tapi sesaat itu pula aku berpikir, siapa yang lebih malang di antara aku dan bapak ? Aku hanyalah seorang aku yang tidak tahu dimana ibuku tapi bapak , ia adalah laki-laki yang kehilangan cinta. Aku tahu bapak menanggung rindu yang berat sama sepertiku. Pernah aku bertanya dimana makam ibuku berada pada bapak tapi bapak tetap diam dan matanya berkaca-kaca. Lalu aku menarik kesimpulan kalau ibuku masih hidup dan dia ada di suatu tempat yang tidak mungkin aku temukan.
Aku terbangun sewaktu mendengar orang berjalan, srag…sreg… srag…sreg. Rupanya mereka sudah hendak pergi untuk mencari uang ke pasar, tapi kenapa bapak belum juga membangunkan aku. Biasanya bapak sudah bangun untuk sholat subuh,mungkin bapak terlelap dalam kedinginan yang sempurna malam tadi atau mungkin bapak tengah bermimpi bertemu ibu.
Aku membuka mata lebar-lebar mencoba memastikan bahwa aku benar-benar sudah terbangun dari tidurku. Aku segera bangkit untuk melihat bapak di ruang tamu. Berjingkat-jingkat aku mendekatinya karena aku tidak mau bapak terbangun dalam waktu yang tidak dikehendakinya. Bapak masih tertidur lelap rupanya….
Aku tak hendak membangunkannya.
Aku mencoba membasuh muka dengan air. Sehabis sholat aku mulai mengambil korek untuk memasak nasi, susah juga menghasilkan api dari blarak yang agak basah tapi setelah lama dicoba akhirnya berhasil juga. Aku mulai mencuci beras yang tinggal sedikit untuk sarapan aku dan bapak. Setelah itu aku hendak membangunkan bapak tapi apinya belum juga besar hingga ku harus mengambil semprong. Aku meniupnya hingga abu hasil api kemarin beterbangan pula. Setelah susah payah aku membina api, akhirnya aku pergi membangunkan bapak.
Berjingkat-jingkat pula aku mendekatinya. Bapak tidur terlalu pulas hingga rupanya tidak terbangun oleh langkah kakiku. Aku mencoba membangunkannya perlahan, mengerak-gerakkan bahu bapak seraya memanggil supaya bapak lekas bangun. Pikiranku mulai kacau ketika aku tidak berhasil membangunkan bapak. Aku mulai merasakan takut yang amat sangat saat aku harus menerima kenyataan dari apa yang aku pikirkan. Nafasku tiba-tiba sesak., darahku pun mengalir begitu deras, detak jantungku tak lagi terkendali. Hatiku serasa tertindih batu besar. Tubuhku serasa menggigil . Dengan tangan gemetar aku mencoba membangunkan bapak lagi dan aku sadar bahwa apa yang aku pikirkan adalah kenyataan. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi padaku. Aku tidak punya kekuatan untuk menangis ataupun memberontak atas ketidakadilan yang kurasakan.
Aku berlari jauh dengan harapan perasaan itu akan hilang. Aku berlari meninggalkan bapak sebisaku dan entah kekuatan apa yang telah membimbingku untuk berlari. Aku berlari membawa kepedihanku. Aku berlari membawa ketidakadilan yang kurasakan. Aku berlari membawa semuanya, aku terhenti oleh kelelahanku sendiri. Aku sadar aku berada di tepi sungai yang dalam. Hampir aku menyertakan diriku mengikuti aliran itu. Aku merasakan malu dengan diriku. Aku duduk termenung untuk waktu yang lama, semakin lama hatiku pun tenanglah. Merasakan damai atas langit yang masih terbentang. Aku mulai merasakan keadilan dan aku mulai bisa menerima bahwa ini adalah kehendak –Nya. Aku berdiri dan berjalan pulang, bapak telah menungguku di rumah . Aku pun pulang hendak menyiapkan penguburan ayahku.***

3 komentar:

Anggit mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Anggit mengatakan...

Assalamu'alaikum bu....
Wah, blog Ibu cantik sekali...

Kalau ada waktu luang, kunjungi blog saya ya bu...

sandal jepit milanisti mengatakan...

aku salut dengan ibu..
aku ingin belajar lebih banyak tentang kehidupan dari ibu..

aku suka menulis...